Popular Post

Pengunjung

  • Breaking News
    Loading...
    Jumat, 19 Juli 2013

    Ulama Dan Tokoh Jombang Nobar “Sang Kiai”



    Kantor DPRD Jombang disulap menjadi gedung bioskop. Kantor wakil rakyat tersebut dijadikan tempat nonton bareng (nobar) film 'Sang Kiai', Kamis (18/7/2013)sore. Acara yang dirangkai  dengan buka puasa bersama tersebut dihadiri  Bupati dan seluruh pejabat dilingkup pemkab Jombang, Forpimda (Forum Pimpinan Daerah) serta ulama dan tokoh masyarakat. Hadir pula, pengasuh Ponpes (Pondok Pesantren) Tebuireng yang juga cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah.


    Nobar film yang berisi kisah perjuangan Hasyim Asy'ari mengusir penjajah itu diawali sambutan Gus Solah. Lelaki berkacamata minus ini menyambut baik acara yang digagas oleh Forpimda Jombang. Apalagi, film yang berdurasi dua jam itu memang berkisah tentang perjungan kakeknya yang juga putra asli Jombang.

    "Yang terpenting lagi, bahwa ulama dan pesantren punya andil cukup besar dalam mendirikan NKRI. Kalau ada yang bilang bahwa NKRI adalah negeri taghut adalah tidak benar. Film ini membuktikan bagaimana kiai, santri, berjuang mengusir penjajah," kata Gus Solah.

    Begitu film diputar, suasana gedung DPRD berubah menjadi gelap. Tak berselang lama, layar berukuran besar yang berada di ujung gedung memunculkan gambar lelaki tua mengenakan surban putih. Lelaki itulah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari yang diperankan oleh aktor kawakan Ikranagara.

    Dalam film itu diceritakan, pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Ironisnya, kehadiran Nippon ke tanah air itu justru lebih kejam dari penjajahan Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran bendera merah putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei (menghormat kepada Matahari).

    KH Hasyim Asyari sebagai ulama besar menolak untuk melakukan Sekerei karena beranggapan bahwa tindakan itu menyimpang dari aqidah agama Islam. Menolak karena sebagai umat Islam, hanya boleh menyembah kepada Allah SWT. Karena tindakannya yang berani itu, pendiri Ponpes Tebuireng itu akhirnya ditangkap oleh tentara Jepang.

    KH Wahid Hasyim, salah satu putra Hadratusy Syaikh mencari jalan diplomasi untuk membebaskan KH Hasyim Asyari. Berbeda dengan Harun, salah satu santri Tebuireng yang lebih mengedepankan cara kekerasan untuk membebaskan sang kiai. Harun menghimpun kekuatan santri untuk melakukan demo menuntut kebebasan gurunya. Tetapi harun salah karena cara tersebut malah menambah korban berjatuhan.

    Bagian penting dari film karya sutradara Rako Prijanto adalah peran Kiai Hasyim mengumpulkan ulama besar untuk membahas resolusi jihad. Dalam pertemuan bulan September 1945 itulah lahir fatwa jihad yang digulirkan oleh ulama NU. Intinya, seluruh umat Islam hukumnya fardu ain untuk ikut berperang mengusir penjajah. Resolusi itu pula sebagai pelecut pecahnya perang 10 November di Surabaya.

    Bupati Jombang Suyanto mengaku bahwa  film yang mengambil kisah dari  tokoh besar asal Kabupaten Jombang itu sangat istimewa. “Filim ini penting karena kita bisa menyaksikan peran ulama asal Jombang, terutama Kiai Hasyim Asy’ari yang begitu besar perjuangannya  dalam mengusir penjajah untuk merebut " ungkap Suyanto.(Wati_SJAM)

    Jombang, 19 Juli 2013
    Radio Suara Jombang AM

    0 komentar:

    Posting Komentar